KIK di Facebook

Bergabung dan ikutilah Grup Kajian Islam Komprehensif di jejeraing sosial Facebook untuk berdiskusi tentang perbagai persoalan Islam dan Ummat Islam.

Kajian Islam Komprehensif

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), .......” [Al-Baqarah : 208].

Selamat Tahun Baru Islam - 1 Muharram 1433 Hijriyah

Pergantian tahun seyogyanya menjadi bahan perenungan kita tentang perjalanan hidup. Apakah yang sudah berubah dalam hidup kita

Sebaik-Baik Insan

Sebaik-baiknya manusia disisi Allah SWT. adalah yang paling memberi manfaat di antara mereka.

Kirim Artikel di Blog KIK

Anda Bisa Berpartisipasi dengan Mengirimkan Artikel atau Berkomentar di Blog Kajian Islam Komprehensif ini.

2.12.11

YUSRIL MENJAWAB ARTIKEL DI KABAR INDONESIA

Pengantar Admin Blog-KIK. ::
Merasa terusik dengan tulisan-tulisan yang sering menyerang dirinya, Yusril Ihza Mahendra akhirnya menanggapi artikel di “Kabar Indonesia” Moratorium Remisi: “Argumentum Ad Hominem” untuk Yusril yang ditulis Berthy B Rahawarin.

Menurut YIM, artikel yang ditulis oleh Berthy lebih banyak ngawur dan tidak mengandung kebenaran sama sekali, tanpa data dan pakta serta tanpa argumen yang jelas. Dan kenyataannya dengan modal media yang mereka kuasai orang-orang seperti Berthy ini memang sering kali menyerang dengan didasari kebencian yang tidak jelas.


Berikut artikel jawaban YIM selengkapnya, selamat menyimak !


Artikel yang ditulis oleh Berthy B Rahawarin di “Kabar Indonesia” lebih banyak ngawur daripada benarnya.  Dari kalimat pertama tulisannya, data dan fakta yang disajikan sudah salah samasekali, sebagiannya lagi mengada-ada tanpa bukti. Bukan sekali ini Berthy ini menulis menyerang saya dengan cara-cara seperti itu. Selama ini saya diamkan saja. Namun kalau saya diam saja, orang mengira apa yang ditulisnya benar. Sekali ini saya tanggapi tulisannya, seperti di bawah ini. Kalau penulisnya masih ngeyel terus dengan cara ngawur menyerang saya, maka saya takkan meladeninya lagi. Biar saja orang lain yang menilai dan menanggapinya.
(1)   Dikatakannya bahwa saya adalah Menkumham pada periode pertama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), padahal   yang benar, Menkumhamnya adalah Hamid Awaluddin dan Andi Mattalata. Saya menjadi Mensesneg dalam KIB I sebelum diberhentikan Presiden SBY tanggal 7 Mei 2007;
(2)    Sikap saya menentang moratorium remisi terhadap terpidana korupsi, terorisme, narkotika dan kejahatan trans-nasional terorganisir  dianggapnya sebagai ingin “menenangkan hati anggota DPR” dan akan memberi “argumen-argumen yang bertentangan dengan semangat membasmi korupsi sebagai extraordinary crime”.
(3) Banyak orang yang  asal ngomong seolah-olah benar bahwa korupsi itu adalah “extra ordinary crime” atau kejahatan luar biasa yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights) dengan mengaitkannya pada Konvensi PBB tentang Melawan Korupsi. Saya membaca berulang-ulang UN Convention Againts Corruption yang saya ikut menyusunnya, dan bahkan  saya menandatangani pengesahannya atas nama Pemerintah RI di Markas Besar PBB di New York. Namun saya tidak menemukan satu katapun dalam konvensi itu yang mengkategorikan korupsi sebagai extra ordinary crime.  Statuta Roma tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC Statute), yang memuat kategori apa saja tindak pidana yang termasuk ke dalam kategori extra ordinary crime, tidak memasukkan korupsi ke dalamnya. Begitu juga UN Convention on Trans National Organized Crime  (TOC) yang saya juga ikut menyusunnya dan akhirnya  menandatanganinya atas nama Pemerintah RI di Palermo, Italia, tahun 2002,  juga tidak memuat kategori seperti itu;
(4)   Dikatakannya karena korupsi adalah extra ordinary crime, maka pelaku kejahatan korupsi dikecualikan dari remisi. Darimana landasannya pendapat seperti itu? Tidak ada landasan hukum apapun untuk mendukung pendapat seperti ini, kecuali keinginan Berthy sendiri, sama seperti keinginan Amir Syamsuddin dan Denny Indrayana. Kalau keinginan orang yang berkuasa dijadikan hukum dengan cara mengangkangi hukum positif yang berlaku, maka alamat negara ini akan kembali ke zaman otoriter, seperti dilakukan Laksamana Sudomo sewaktu menjadi Pangkopkamtib di zaman Orde Baru. Konvensi PBB tentang Perlakuan terhadap Narapidana (1955) dan Tokyo Rules (1958) yang mengatur perlakuan terhadap narapidana,  justru tidak membenarkan adanya diskriminasi terhadap narapidana. Tidak ada perubahan konvensi itu yang memasukkan pelaku tindak pidana korupsi dikecualikan dari hak mendapatkan remisi. Pasal 5 UU No 14 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juga melarang adanya perlakuan dan pelayanan diskriminatif terhadap narapidana. Hanya PP No 28 Tahun 2006 yang diteken Presiden SBY yang memberikan perlakuan diskriminatif itu. Namun PP ini hanya memperberat syarat-syarat pemberian remisi kepada narapidana korupsi, terorisme, narkotika dan kejahatan trans nasional terorganisasikan dibandingkan dengan narapidana kasus yang lain,  bukan menghapuskannya samasekali. Saya ajukan ke Mahkamah Agung saja  untuk menguji apakah PP 28 Tahun 2006 yang bersifat diskriminatif itu bertentangan dengan Undang-Undang Pemsayarakatan dan  UUD 1945 atau tidak;
(5)   Berthy mengatakan korupsi dipandang masuk “pelanggaran HAM berat di mata Konvensi PBB” dan   karena itu terpidana korupsi tidak dapat dipandang sama dengan  pidana umumnya. Saya hanya mempersilahkan yang bersangkutan untuk membaca Konvensi PBB itu, baik teks Bahasa Inggris yang saya tanda-tangani di New York, maupun teks Bahasa Indonesia sebagai lampiran UU No 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi tersebut, dan tolong tunjukkan pada saya mana pasal yang mengatakan korupsi itu sebagai “pelanggaran HAM berat”. Kalau korupsi termasuk “pelanggaran HAM berat” maka pelakunya harus diadili di Pengadilan HAM, bukan di Pengadilan Tipikor seperti sekarang ini;
(6)   Saya dituduh Berthy  bahwa sebagai Menkumham (di era KIB I seperti kata penulis) tidak ada integritas pribadi dalam penegakan hukum, tidak berjiwa rechtsstaat.  Tidak apa-apa dituduh begitu, ok saja.  Namun alasannya “Yusril nampak konsisten dalam sikap ketika memberi bahasa pembelaan pada grasi kontroversial Syaukani”. Saya tidak pernah memberi komentar apapun terhadap grasi yang diberikan Presiden SBY kepada Syaukani.  Permohonan grasi itu diproses oleh  Menkumham Patrialis Akbar. Saya sudah lama tak menjadi menteri ketika Syaukani diberi grasi oleh Presiden SBY. Berkomentarpun tidak,  apalagi membela grasi untuk Syaukani. Penulis ini mengada-ada dan menyebarkan fitnah belaka.
(7) Kalau saya tak berjiwa rechtstaat (negara hukum), bagaimana anda bisa menjelaskan bahwa saya berani menentang rencana Presiden Gus Dur yang mau mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR dalam sidang kabinet di Bina Graha tahun 2001?.  Apa ada menteri lain, termasuk beberapa jenderal yang jadi menteri yakni  SBY, Agum Gumelar, Soeryadi Soedirdja dan Widodo AS yang hadir dalam sidang kabinet itu  yang berani mengkritik Presiden? Bahkan Menteri Pekerjaan Umum Erna Witoelar memprotes dengan mengatakan “tidak pantas anda sebagai menteri mengkiritik  Presiden di sidang kabinet”. Saya katakan, kalau Presiden mau melanggar konstitusi, kewajiban saya sebagai Menteri Kehakiman mengingatkannya. Gus Dur marah. Saya keluar meninggalkan ruangan. Besoknya, 8 Februari 2001, saya dipecat oleh Presiden Gus Dur  sebagai Menteri Kehakiman dan HAM dan digantikan oleh Baharuddin Lopa yang mau saja menuruti kemauan Gus Dur meskipun menyalahi hukum dan konstitusi;
(8) “Tapi Yusril ketika Menkumham di bawah Presiden yang sama, diam seribu bahasa ketika penolakan grasi oleh Presiden SBY atas kasus kontroversial pidana mati Tibo cs, dalam konflik sosial di Poso, Sulteng”.  Ini tambah ngawur lagi. Menkumham ketika Tibo ditolak grasinya oleh Presiden SBY adalah Hamid Awaluddin. Grasi Tibo beda sekali dengan moratorium remisi yang justru kontroversial. Bahwa Tibo dipidana mati memang kontroversial di mata Pemimpin Gereja Katolik  di Vatikan, yang menulis surat berisi desakan kepada Presiden SBY agar mengampuni Tibo. Surat senada datang dari kelompok Gereja Katolik dari berbagai negara. Saya baca semua surat-surat itu karena saya Mensesneg, sebelum saya ajukan ke Presiden. Bagi orang-orang Islam yang keluarganya dibantai Tibo di Poso, hukuman mati bagi Tibo tidaklah kontroversial, bahkan sudah  sewajarnya. Apa penulis Berthy W Rahawarin ini mempunyai  link  dan membawa misi kepentingan Gereja Katolik di Vatikan, sehingga kehilangan obyektifitas kalau bicara tentang Tibo, silahkan anda menjawabnya.
(9)   Banyak orang yang akhir-akhir ini membangun opini seolah-olah saya ini pembela koruptor dan tidak terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi.  Saya anggap ini adalah bagian dari “black campaign”. Mereka  lupa, atau pura-pura tidak tahu kalau saya yang ikut menyusun RUU Pembentukan KPK dan saya pula yang mewakili Presiden RI membahasnya hingga selesai dengan DPR RI. Panitia seleksi KPK yang pertama bekerja  di kantor saya ketika itu, Departemen Kehakiman dan HAM.  Saya juga yang ikut merevisi UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga menjadi lebih keras isinya, yang kini menjadi UU No 20 Tahun 2002 dan mewakili Presiden membahasnya di DPR hingga selesai. Tanya saja sama hakim-hakim Tipikor itu, bukankah Yusril, ketika menjadi Menkumham yang membentuk pengadilan Tipikor itu, untuk pertama kali di PN Jakarta Pusat? Banyak orang lupa, bahwa saya ketika Menjadi Menkumham menyediakan segala fasilitas, bahkan sampai meminjam  gedung Departemen Pertanian dan mempersiapkan segala sesuatunya agar memungkinkan mantan Presiden Suharto untuk diadli. Padahal, saya pernah menjadi speech writer beliau ketika menjadi Presiden. Belakangan, saya malah dituduh korupsi oleh Jaksa Agung Kanjeng Raden Temenggung (KRT)  Hendarman Supandji. Sampai sekarang saya masih menjadi “pesakitan” walau Romli Atmasasmita dan Yohanes Waworuntu, dua orang yang dituduh pelaku utamanya, sudah dibebaskan oleh Mahkamah Agung karena tidak terbukti melakukan korupsi;
(10)   Pendirian saya menentang moratorium remisi yang dicanangkan Amir Samsudin dan Denny Indrayana itu, dituduh sekedar ingin menyenangkan hati anggota DPR. Sikap yang saya yang tegas dalam memegang suatu pendirian, tidak selalu menyenangkan orang, bahkan sebaliknya banyak pula yang benci. Saya tidak pernah perduli orang senang atau benci dengan pendapat dan pendirian saya. Sepanjang saya yakin benar, saya kemukakan pendirian itu, walau ada yang senang dan ada yang benci. Saya tidak perduli;
(11)   Orang-orang yang secara kongkrit saya bela di LP Cipinang dan Salemba, kebanyakannya terkait dengan travel cheque suap terkait pemilihan Miranda Gultom menjadi Deputi Senior Gubernur BI. Siapa yang menyuap hingga kini tidak diketahui, apa Miranda, Nunun atau siapa. Masak yang disuap ada, yang menyuap tidak ada. Ini aneh bin ajaib. Kalau suap, tidak ada unsur kerugian negara, apalagi memakan uang rakyat, yang sering dijadikan propaganda orang-orang seperti Berthy Rahawarin ini, seolah-oleh mereka pembela rakyat yang duitnya dimakan koruptor. Andaikata yang nyuap Miranda, atau siapapun, maka yang digunakan adalah uangnya sendiri, atau uang orang lain. Yang jelas bukan uang negara atau uang rakyat. Kecuali Miranda yang korupsi uang negara, dipakai beli travel cheque. Itu benar korupsi yang merugikan keuangan negara. Tapi ini masalah lain yang perlu penyidikan dan penuntutan agar kasus ini jelas;
(12). Berthy Rahawarin nampak tidak yakin kalau yang menanggapi tulisannya adalah saya, seperti tanggapannya di Kabar Indonesia. Kalau saya sudah menulis di blog saya sendiri, masih juga tak yakin, terserahlah.  Saya ingin katakan padanya, bahwa saya bukan tipe manusia yang suka lempar batu sembunyi tangan, atau bersembunyi dibalik fasilitas dunia maya. Kalau saya mau melawan dan menantang orang, saya tidak pernah sembunyi-sembunyi. Saya akan tantang secara terbuka. Saya pernah menantang admin Blog  Indonesia Matters untuk debat terbuka, namun mereka tidak berani. Saya bahkan tantang Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Presiden SBY untuk berdebat terbuka di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi, namun tokh mereka tidak datang, sampai akhirnya MK membenarkan argumentasi saya, bahwa Hendarman memang jaksa agung illegal;
(13) Di tahun 1998, saya pernah datang membawa pisau menantang Prof A Muis, Guru Besar UNHAS, yang sering memaki-maki saya di koran Fajar, Makassar. Itu saya lakukan setelah dua kali Muis tak muncul tanpa alasan ketika ditantang berdebat terbuka, yang difasilitasi Jusuf Kalla selaku Pengurus Masjid Al-Markaz, padahal sebelumnya dia menyatakan bersedia.  Kali ketiga saya bawa pisau ke Makassar dan Muis tak datang lagi ke Kampus UNHAS, almamaternya sendiri,  tempat di mana debat akan dilakukan. Dengan jengkel saya berkata kepada peserta yang hadir: “Bilang sama Professor Muis, kalau dia orang Bugis, jangan cuma berani  tusuk orang dari belakang. Ini saya bawa pisau dan kain sarung. Kalau mau bunuh-bunuhan, ayo kita masuk dalam kain sarung ini, bawa pisau  masing-masing.  Professor Muis bikin malu orang Bugis”.  Seminggu sesudah itu, Muis meninggal. Bukan saya tusuk pakai pisau,  tapi dia meninggal karena stroke. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.